Jumat, 18 Februari 2011

Tak Perlu Jadi Artis, Cukup Jadi Produser dan Sutradara



Akhir-akhir ini banyak tayangan-tayangan televisi yang menampilkan talkshow, berita, sinetron hingga film mengenai betapa mirisnya pergaulan pemuda-pemudi Indonesia. Mulai dari pelajar SMP-SMA bahkan Sekolah Dasar, hampir seluruhnya pernah, mendengar, melihat bahkan sampai melakukan yang namanya seks bebas. Lalu siapa yang bertanggung jawab dalam masalah bobroknya mentalitas pemuda-pemudi Indonesia tercinta saat ini.
Kalau kita telisik lebih dalam secara umum yang berperan aktif dalam hal ini adalah orang tua. Entah ayah ataupun ibu keduanya sangat berperan. Namun jika ditelusuri lebih dalam lagi peran Ibu yang notabene adalah seorang wanita, lebih berperan secara aktif dalam pembentukan karakteristik anak bangsa.
Seperti pepatah, Wanita adalah tiang Bangsa. Kenapa harus wanita? Yah itulah keistimewaan seorang wanita diciptakan oleh Tuhannya dimuka bumi. Namun pada nyatanya mungkin pepatah itu tak lagi seutuhnya benar, jika kita melihat kemajuan zaman yang semakin edan ini.
Sebelum zaman revolusi tahun 1945, wanita-wanita Indonesia terkenal dengan sifat atau karakternya yang halus, sabar, menarik, hemat, berhati-hati, setia menjalani tugas pokonya, menjadi isteri dan ibu yang baik, bekerja keras untuk membantu tegaknya keluarga dan rumah tangganya, dan sifat-sifat unggul lain yang dicitrakan pada wanita Indonesia sehingga kita mendapat gelar Negara yang ramah dan tamah dalam ketulusan. Kemajuan emansipasi wanita tak lagi mencitrakan wanita Indonesia yang sesungguhnya, tenggelam dalam budaya aslinya, mati dalam menjaga jati diri yang sesungguhnya. Kebebasan wanita telah disalah artikan saat ini, apakah ini sebuah bentuk balas dendam terhadap keterpurukan wanita-wanita zaman dulu yang idealnya hanya “ 3M ( Macak, Manak, Masak)”, yang sekarang dilampiaskan menjadi sikap-sikap wanita yang tak sepatutnya seperti Manak tapi ditelantarkan, Masak tapi pembantunya, Macak tapi agar enak dipandang laki-laki lain, atau berkata lantang pada suami dan orang tua, bahkan yang dulu dikatakan wanita itu hemat dalam pengelolaan uang, sekarang keseharian berbelanja yang berlebihanpun jadi berita menarik di media massa. Apakah itu salah satu bentuk emansipasi yang sesungguhnya?.
Seandainya Ibu kita Kartini masih hidup mungkin disetiap perayaan ulang tahunnya pada tanggal 21 April, beliau akan terus mencucurkan air mata dalam pidatonya karena melihat perjuangannya disalah artikan. Bagaimana tidak, tujuan sesungguhnya beliau memperjuangkan emansipasi adalah untuk menjadikan wanita Indonesia lebih bermartabat atas ilmu dan dedikasinya dalam keluarga hingga bangsanya. Bukan untuk membiarkan generasi-generasinya dijejalkan dengan kebebasan tanpa batas yang menjadikan seluruh anak bangsa berontak terhadap tradisi yang apik dari leluhurnya. Maraknya prostitusi anak, perceraian, fenomena anak balita yang merokok, remaja SMP-SMA yang “Nyabu” dan minum-minuman, sudah merupakan bukti otentik bagaimana lemahnya wanita-wanita saat ini berperan dalam tugas sesungguhnya.
Wahai kaumku yang cantik, bukan saatnya kita berontak dengan embel-embel emansipasi. Kembali pada kodrat dan tugas luhur kita adalah kemuliaan bagi kita. Biarpun kita tak harus menjadi seorang artis dalam kemajuan suatu bangsa, tapi kita harus menjadi produser dan sutradara orang-orang sukses yang nantinya membawa kemajuan bangsa yang hakiki; menciptakan anak bangsa yang cerdas, berprinsip kuat dan bertaqwa pada Tuhannya. Dengan kasih sayang, komunikasi yang utuh, perhatian yang mendalam terhadap keluarga, menjalankan peran dengan penuh konsentrasi, dan yang terpenting adalah memahami seutuhnya jati diri seorang wanita sebagai tiang Negara. Maka keyakinan akan terwujudanya cita-cita pejuang kita, tidak perlu dikhawatirkan ataupun ditangisi lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar